Senin, 22 November 2010

“JATUH BANGUN SENTRA TANGGULANGIN”


Lumpur Panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, membuat industri kerajinan kulit di Tanggulangin mati suri. Banyak konsumen yang mengira lokasi ini ikut ditenggelamkan lumpur. Sebagian yang lain mengeluh bau menyengat di lokasi semburan, sehingga mengganggu aktivitas belanja.

Namun menurut saya, pada kenyataannya kini dengan seiring berjalannya waktu Lumpur yang meluap pada 29 mei 2006 itu justru menjadi sebuah akses pariwisata yang cukup menarik wisatawan, baik dari daerah sekitar Sidoarjo maupun dari luar kota Sidoarjo. Dan hal itu sangat menguntungkan bagi para pengusaha pengrajin tas koper di Tanggulangin. Karena dengan banyaknya wisatawan yang datang maka akan banyak wisatawan yang datang ke Sentra Tanggulangin untuk membeli tas dan koper sehingga hasil penjualan mereka pun meningkat.

Kecamatan Tanggulangin di Sidoarjo dikenal sebagai Sentra Kerajinan Kulit. Berbagai produk seperti tas, sepatu, dompet, ikat pinggang hingga jaket kulit diproduksi di sini. Sebelum lumpur menyembur, Tanggulangin adalah surga belanja bagi mereka yang menginginkan aneka produk kulit berkualitas dengan harga miring.

Sepanjang Sentra Produksi Tas dan Koper Tanggulangin (selanjutnya disebut "Sentra Tanggulangin") dimulai sejak tahun 60-an. Semenjak beberapa orang menjadi kuli yang membantu proses pembuatan koper di Surabaya. Selanjutnya muncul tenaga- tenaga trampil yang mampu membuat koper sendiri di suatu desa namanya Kedensari kecamatan Tanggulangin. Saat itu koper yang dibuat dari bahan karton tebal dan dilapisi kulit sapi yang diproses sederhana yang dipres menggunakan lem kanji. (sumber: H. Abd. Rochman, pelopor Sentra Tanggulangin).

Koper Kulit Nabati sebagai Produk Pertama di Sentra Tanggulangin

Semenjak pertengahan tahun 70-an, beberapa tenaga trampil di desa Kedensari kebanjiran order dari para Juragan di Surabaya. Munculnya tenaga-tenaga trampil baru sebagai akibat banyaknya order tersebut, muncul sebuah ide untuk mendirikan suatu organisasi usaha yang didirikan beberapa orang, dengan usaha baru ini area penjualan hasil produksi tidak hanya ke Surabaya saja, mulai merambah Semarang, Jogjakarta, Bandung dan Jakarta. Pada tahun 1975 organisasi usaha ini mengalami kebangkrutan karena salah kelola. Pada tahun 1976 sebagian orang pendiri organisasi yang ambruk tersebut bersepakat untuk mendirikan sebuah Koperasi Industri Tas dan Koper (INTAKO). Koperasi ini adalah cikal bakal Sentra Industri Tas dan Koper di desa Kedensari Tanggulangin.
Menurut Pak Khozin, tujuan berdirinya koperasi ini selain untuk mensejahterakan masyarakat, juga menjadikannya kompetitif dan sebagai kiblat perkoperasian Indonesia. “Tidak muluk cita-cita kami, asal keadaan seperti ini bisa dipertahankan, pasti akhirnya bisa turut memberantas kemiskinan dan pengangguran. Minimal di sekitar wilayah Tanggulangin,” tambahnya.
Awalnya koperasi ini hanya beranggotan 27 orang. Modal awal hanya sebesar Rp 135.000 yang diperoleh dari iuran wajib anggota sebesar Rp 5.000. Saat itu, kenang Pak Khozin, koperasi sulit mencari anggota. Hal ini disebabkan para pengrajin sudah jenuh dengan adanya organisasi usaha serupa yang memberi pengalaman buruk. Maka ketika koperasi dibentuk hanya berhasil menjaring sedikit pengrajin.

Tahun 80-an dengan dukungan Pemerintah sejumlah mesin-mesin produksi, pelan tapi pasti Koperasi INTAKO mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Munculnya sebuah ide dari masyarakat pengerajin atas ramainya kunjungan konsumen ke INTAKO, yaitu dengan mendirikan toko-toko/showroom hasil produksi mereka sendiri. Hingga tahun 2000 telah muncul sekitar 250 toko sepanjang 2,5 km jalan sampai menuju Showroomnya INTAKO. Diawal-awal krisis ekonomi 1998, Sentra Tanggulangin justru mendapat keuntungan banyaknya pembeli dari Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi manjadi reseller produk Tanggulangin hingga tahun 2001.
Iklim usaha yang terjadi pada para pengrajin di Tanggulangin, tak bisa lepas dari peran koperasi yang menaungi. Sejarah Koperasi Intako yang jatuh bangun, justru telah membuat posisinya semakin kokoh dan berjaya. “Pengrajin di sini sudah menjadi aset Jawa Timur. Kami cukup bangga bahwa telah menjadi daerah tujuan wisata yang tidak pernah sepi,” kisah Pak Khozin
 Tahun 2002 mulai terjadi kontraksi bahkan penurunan daya beli karena mahalnya bahan baku akibat kenaikan BBM. Pada tahun 2005, pasar sangat lesu akibat mahalnya bahan baku dan turunnya daya beli masyarakat. Keadaan jatuh dan banyak yang bangkrut ditambah lagi kejadian luar biasa dan amat mengejutkan yaitu meluapnya Lumpur Lapindo di akhir mei tahun 2006. Menurut kutipan dari Metro TV News Lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, membuat industri kerajinan kulit di Tanggulangin mati suri. Banyak konsumen yang mengira lokasi ini ikut ditenggelamkan lumpur. Sebagian yang lain mengeluh bau menyengat di lokasi semburan, sehingga mengganggu aktivitas belanja.
Ini diakui oleh pengusaha kulit Roni Choiri. Roni dan kawan-kawannya berharap, lumpur panas Lapindo segera bisa diatasi. Agar mereka bisa kembali berusaha seperti sedia kala.
Pelancong yang berlibur ke Surabaya, Jawa Timur (Jatim), serasa belum pas jika tak mampir ke Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Di sini terdapat kawasan industri kecil yang bergerak di bidang kerajinan tas dan koper. Yang membuat namanya melambung ke antero dunia, pengrajinnya pandai meniru produk-produk branded yang memiliki nama dunia. Sebut saja dompet, sabuk atau tas merek Ettiene Aigner atau Louis Vuitton.
Sekilas tas atau dompet made in Tanggulangin, sulit dibedakan. Mulai desain dan jahitannya mendekati sempurna. Sebagai merek yang bergengsi dan jika membeli produk asli harganya mahal, maka pengrajin di sini hanya menjual sepertiganya. Sebuah tas Louis Vuitton yang di mal dibandrol Rp 5 juta, maka di sini bisa ditukar hanya dengan Rp 750.000 – Rp 1.750.000.(sumber : Bpk. Gunawan, salah satu pengrajin Tas Tanggulangin). Tak heran jika berburu barang bermerek di Tanggulangin itu sangat menyenangkan. “Saya bisa pamer di kantor dengan produk mahal, padahal buatan lokal,” kata Sunarti Suharso (45) ketika ditemui di sebuah toko di kawasan itu. “Dulu memang banyak pengrajin yang meniru produk bermerek. Tapi sekarang yang dijual hanya sisa-sisa produk lama. Ini gara-gara tuntutan dari pemegang merek agar kami tidak lagi meniru lagi,” Drs. M Khozin, Sekretaris I Koperasi INTAKO (Industri Tas dan Koper) menjelaskan.
Bahkan para perajin di sini telah memiliki merek-merek sendiri yang telah dipatenkan. Beberapa memiliki nama berbau Italia agar terkesan mewah. Koperasi Intako, lanjut Khozin, kini berkembang pesat. Sebuah gedung yang representatif telah berdiri sebagai kantor dan ruang pamer. Di gedung ini dipamerkan produk para anggota koperasi yang berjumlah 352 pengrajin.
Satu tahun Lumpur Lapindo telah menyebabkan sepinya pengunjung karena akses jalan Tol Porong-Gempol terputus dan Jalan Arteri Porong setiap hari macet 2 jam lebih. Jika di ibaratkan, Sentra Tanggulangin saat itu "HABIS JATUH TERTIMPA TANGGA PULA". 3,5 tahun Lumpur Lapindo dengan semangat dan kerja pengrajin sudah mulai bangkit walaupun sangat sedikit bantuan dari Pemerintah Daerah.
Lesunya bisnis penjualan tas Tanggulangin Sidoarjo, Jawa Timur, memaksa para perajin tas tersebut merombak sistem penjualan dan target keuntungan mereka. Apalagi, saat ini biaya produksi para perajin itu bertambah sejak kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.
Sejak kenaikan BBM yang pertama, ditambah tragedi lumpur Lapindo, pengusaha tas Tanggulangin sudah berjatuhan satu persatu. Kini dengan kenaikan BBM, maka mau tidak mau para pengusaha harus merubah system penjualan agar produk masih bisa dibeli masyarakat. Perubahan kebijakan yang diambil para perajin tas Tanggulangin itu adalah rela menurunkan harga jual produknya agar bisa menjaring pembeli dalam jumlah besar atau sistem grosir. Yang dipentingkan perajin saat ini adalah perputaran omset. Penjualan dengan sistem yang bisa dibilang grosir ini, diharapkan dapat mengimbangi biaya produksi tas yang semakin mahal usai kenaikan BBM. Beban produksi naik sebab harga bahan baku tas naik sekitar 20 persen.
Dengan sistem banting harga atau grosir ini diharapkan para perajin tas yang sudah terlepasdari beban dan bisa kembali hidup. Sejak kenaikan harga BBM pertama kali, ditambah munculnya bencana lumpur, jumlah perajin tas terus berkurang dari 350-an perajin menjadi sekitar 100-an perajin.( sumber : ketua Asosiasi Pengusaha Tas Tanggulangin (APETTA) Bpk. Ismail Syarif )
Iklim usaha yang terjadi pada para pengrajin di Tanggulangin, tak bisa lepas dari peran koperasi yang menaungi. Sejarah Koperasi Intako yang jatuh bangun, justru telah membuat posisinya semakin kokoh dan berjaya. Dengan semakin berkembangnya usaha Koperasi Intako, kini banyak para anggota yang telah melakukan ekspor ke berbagai negara. Produk asal Tanggulangin tak kalah mutunya dengan produk asing.

1 komentar:

  1. Kami Jingga A Raya perusahaan profesional penyedia jasa Coating, Epoxy Flooring, waterproofing, dan supplier bagi segala kebutuhan industri dll
    Pengalaman kami untuk hasil terbaik Anda

    Silahkan berkunjung ke website kami : www.jinggaraya.com

    Kami melayani seluruh area Indonesia

    #epoxysemarang #epoxysolo #epoxyyogyakarta #epoxyjawatengah #epoxysurabaya #epoxymalang #epoxysidoarjo #epoxymojokerto #epoxyjawatimur #epoxybandung #epoxypurwakarta #epoxycirebon #epoxyjawabarat #epoxyserang #epoxytangerang #epoxybanten #epoxyjakarta #epoxylampung #epoxysumatra #epoxybali #epoxykalimantan #epoxysulawesi #epoxyindonesia #epoxykita

    BalasHapus