Pada awalnya komunikasi antar budaya hanya terjadi dalam lingkup minoritas. Misalnya pada kalangan artis dan kalangan atas saja yang berkesempatan untuk pergi keluar negeri. A Cultural Map of Five Conflict Management Styles (Ting-Toomey, dalam Griffin:2003) Individualisme Collectivisme Definisi yang pertama dikemukakan didalam buku “Intercultural Communication: A Reader” dimana dinyatakan bahwa komunikasi antar budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter,1994, p.19). Namun dengan semakin berkembangnya kemajuan tekhnologi kini tidak lagi dalam kalangan tertentu yang mampu ke luar negeri, meskipun untuk sekedar bekunjung atau untuk mengembangkan bisnisnya.
Dengan semakin berkembangnya kemajuan tekhnologi ini, maka persoalan-persoalan yang dihadapi dalam komunikasi antar budaya pun semakin kompleks dan luas. Tidak hanya masalah aspek–aspek budaya namun juga social ekonomi politik dan aspek-aspek lainnya.
Menurut Stewart L. Tubbs, komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Gudykunst dan Kim (1992) memberi contoh komunikasi antar budaya sebagai berikut: Perhatikan kunjungan seorang asing yang menganut budaya bahwa kontak mata selama berkomunikasi adalah tabu di Amerika Utara. Bila si orang asing berbicara kepada penduduk Amerika Utara dengan menghindari kontak mata, maka ia dianggap menyembunyikan sesuatu atau tidak berkata benar
BAB II
LATAR BELAKANG
Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Ciri ini memadai untuk mengidentifikasi suatu bentuk interaksi komunikatif yang unik yang harus memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi Dalam keadaan demikian kita dihadapkan dalam suatu masalah yakni situasi dimana suatu pesan dari satu budaya harus diteremahkan ke dalam budaya lainnya.
Budaya bertanggung jawab dalam seluruh perbendaharaan prilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan kata yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula sehingga menimbulkan berbagai kesulitan. Namun jika kita telah mempelajari dan memahami komunikasi antar budaya maka kita akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan kesulitan ini.
Di Indonesia sendiri jelas bahwa banyaknya suku bangsa dengan bahasa, dialek, nilai-nilai dan falsafah pemikirannya masing-masing. Tidak mustahil akan membuka kemungkinan terjadinya kesalahpahaman dan sampai konflik fisik. Selain itu kelompok-kelompok sub budaya yang muncul di kota-kota seperti kelompok kaum homoseks, kawula muda, dengan genk dan bahasa prokemnya, menambah variasi kebudayaan di Negara kita semakin kaya. Tetapi dengan variasi ini tentunya kemungkinan timbulnya permasalahan social akan meningkat pula dengan demikian kebutuhan untuk studi tentang komunikasi antar budaya di Indonesia merupakan hal yang perlu di tunda lagi.
Ilmu komunikasi merupakan disiplin ilmu yang terpecah menjadi bidang studi yang lebih terspesialisasi sesuai aspek yang menjadi pokok perhatian. Diantara bidang ilmu tersebut adalah sosiologi, antropologi, psikologi, serta pengembangan tekhnologi komunikasi itu sendiri. Teori - teori yang berasal dari disiplin-disiplin lain telah memberi warna tertentu pada masing - masing cabang ilmu komunikasi
BAB III
PENGERTIAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent Language. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru dijelaskan oleh David K. Berlo (1960) melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice). Barlo (1960) menggambarkan proses komunikasi dalam model yang diciptakannya. Menurutnya, komunikasi akan tercapai jika kita memperhatikan faktor-faktor SMCR (Sources, Message, Channel, and Receiver). Antara sources dengan receiver yang diperhatikan adalah kemampuan berkomunikasi, sikap, pengetahuan sistem sosial, dan kebudaayaan. Namun, dalam hal ini, komunikasi antarbudaya yang dijelaskan melalui teori etnosentrisme ini berbasis pada konteks komunikasi kelompok (etnik).
Berikut ini adalah beberapa pengertian komunikasi antar budaya yang di kutip dari berbagai sumber[1] :
“intercultural communication … the art of understanding and being understood by the audience of anotjer culture.” (sitaram 1970) yang berarti “komunikasi antar budaya adalah seni untuk memahami dan dipahami untuk khalayak yang memiliki kebudayan lain.”
“communication is cultural when occurring between peoples of different culture” (rich, 1974) artinya “komunikasi bersifat budaya apabila terjadi diantara orang-orang yang berbeda kebudayaannya”
Intercultural communication … communication in which occurs undercondition of cultural difference language, values, costumes, and habits” (stewart 1974) artinya “komunikasi antar budya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adnya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, kebiasan”
“intercultural communication … interaction between members of differing cultures” (sitaram & cogdells) artinya “ komunikasi antar budaya adalah interaksi antara para anggota masyarakat yang berbeda kebudayannya “
“intercultural culture is the process of exchange of thoughts and meaning between people of differing cultures” (Gerhard maletzke) yang berarti “komunikasi antar budaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna yang terjadi diantara orang-orang yang berbeda kebudayaannya.”
“intercultural coomunication … refers to the communication phenomenon in which participants, different in culture backgrounds, come into direct, or indirect contact with one another” (young yung kim, 1984) yang berarti “ komunikasi antar budaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi dimana para pesertanya masing-masing memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara stu dengan yang lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.”
Definisi lain diberikan oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (2003, p. 13). Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antar budaya (intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi.
Dari seluruh definisi tersebut, penekanan lebih pada perbedaan kebudayaan sebagai factor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi. Walaupun komunikasi antar budaya mengakui dan mengurusi permasalahan tentang persamaan – persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antara pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya adalah pada proses komunikasi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaanyang mencoba untuk berinteraksi.
Pada dasarnya komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok orang yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Terdapat 3 faktor yang mendorong perkembangan studi komunikasi antar budaya yaitu kesadaran internasional, kesadaran domestic, dan kesadaran pribadi.
Dimensi-Dimensi komunikasi Antar Budaya
Untuk mendapatkan kejelasan tentang berbgai konseptualisasi tentang kebudayan dalam konteks komunikasi antar budaya, terdapat tiga dimensi yang perlu diperhatikan yaitu :
1. tingkat masyarakat kelompok budaya dari para pelaku komunikasi
2. konteks social tempat terjadinya komunikasi antar budaya
konteks social komunikasi antar budaya meliputi bisnis, organisasi, pendidikan, akulturasi pendidikan, politik, penyesuaian pelancong atau pendatang sementara, perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi-inofasi, konsultasi terapis.
3. saluran komunikasi yang digunakan
secara garis besar saluran terbagi menjadi 2 yaitu
antar pribadi/perorangan dan media massa.
BAB IV
KETERKAITAN ANTARA KOMUNIKASI DAN KEBUDAYAAN
Hubungan antara budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antar budaya oleh karena melalui budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Orang-orang memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan budaya mereka.
Philipsen (dalam Griffin, 2003) mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara mensejarah. Pada dasarnya, budaya adalah suatu kode. Terdapat empat dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu: Jarak, kekuasaan (power distance), Maskulinitas, Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance), dan Individualisme.
Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antarbudaya, Griffin (2003) menyadur teori AnXiety / Uncertainty Management; Face-Negotiation; dan Speech Codes.Anxiety / Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan / Ketidakpastian)[2].Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan diantara keraguan dan ketakutan. Ia menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses meminimalisir ketidakmengertian.
Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama. Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat, kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.
Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
a. Konsep diri dan diri.Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
b. Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan.
c. Reaksi terhadap orang asing.Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka.Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan kita dan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara akurat perilaku orang asing.Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan suatu peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara akurat.
d. Kategori sosial dari orang asing.Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok.Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
e. Proses situasional.Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka.f. Koneksi dengan orang asing.Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka.Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain
Sarbaugh (1979) berpendapat bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikasi dan kebudayaan serta adanya saling ketergantungan antara keduanya. Sementara Smith (1966) menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan. “communication is at the heart of civilization”[3] (kuhn 1963: 151). Menurut Smith kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama. Untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.
Kebudayaan dimiliki oleh sekelompok orang atau masyarakat dalam suatu periode tertentu. Untuk mewariskan kepada generasi berikutnys. Serta dikembangkan keberbagai tempat diperlukan jasa komunikasi dengan kata lain kebudayaan dirumuskan dibentuk ditransmisikan serta dipelajari melalui komunikasi. Adanya komunikasi diantara individu tergabung pada kebudayaannya. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan komunikasi yang berbeda pula. Melalui komunikasi kita membentuk kebudayaan dan sebaliknya melalui kebudayaan ditentukan aturan dan pola-pola komunikasi.[4] “communication is the foundation of our culture “ (Stanley I. baran dalam introduction to mass communication : media literacy and culture (1999 : 9).
Menurut fiske, budaya bias membatasi dan memisahkan atau membebaskan dan menyatukan. Ia menawarkan kepada kita kesempatan yang tak terbatas untuk menggunakan komunikasi untuk hal – hal yang baik jika kita memilih melakukan hal demikian. Dalam pengantarnya fiske menegaskan bahwa komunikasi adalah sentral bagi kehidupan budaya kita. “ tanpa komunikasi, kebudayaan dari jenis apapun akan mati konsekuensinya. Studi komunikasi melibatkan studi kebudayaan yang dengannya ia berintegrasi ”[5] ujar fiske.
Penciptaan dan pemeliharaan budaya yang kurang lebih sama berlangsung melalui komunikasi termasuk komunikasi massa. Komunikan sebagai elemen dasar dalam konstruksi budaya[6]
Face-Negotiation Theory.
Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan –perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.Terdapat tiga perbedaan penting diantara budaya individulis dan budaya kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu adalah dalam cara mendefinisikan: diri; tujuan-tujuan; dan kewajiban.
konsep | Budaya individualis | Budaya kolektivis |
Diri | Sebagai dirinya sendiri | Sebagai bagian kelompok |
Tujuan | Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan diri. | Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan kelompok |
Kewajiban | Melayani diri sendiri | Melayani kelompok/orang lain. |
Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a. Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.
b. Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.
c. Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
d. Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
e. Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.
Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face dan other -face.Obliging Avoiding Compromising Integrating DominatingLow Self-Face ConcernHigh Loww High
BAB V
KEBUDAYAAN SEBAGAI PENYARING
Dengan semakin majunya teknologi komunikasi, semakin banyak informasi yang masuk ke lingkungan kita. Akibatnya masyarakat dapat mengalami kejenuhan informasi, sehingga menimbulkan ketergantungan. Untuk itu dalam hal ini kebudayaan dapat berperan sebagai penyaring.
Masalah kejenuhan ini dapat menimpa pada lembaga-lembaga. Jadi tidak hanya individu yang dapat mengalami masalah kejenuhan. Agar individu yang ada di suatu lembaga dapat berfungsi dengan baik maka perlu diadakan seleksi. Proses seleksi yang dipengaruhi oleh kebudayaan disebut persepsi. Persepsi ini yang kemudian menentukan tingkah laku komunikasi. Sebagian besar prilaku individu ini dipengaruhi oleh lingkungannya dan apa yang telah diajarkan oleh kebudayaannya.
1. aspek struktur
2. aspek stabilitas
3. aspek makna
dan untuk memahami proses persepsi ada dua dimensi yang mendukung[8] yaitu:
1. dimensi fisik
2. dimensi psikologis
untuk menciptakan stabilitas strujtur dan makna bagi lingkungan di sekitar kita perlu adanya persepsi. Melalui persepsi masyarakat menciptakan stabilitas struktur dan makna bagi lingkungan di sekitarnya.
BAB VI
PERSEPSI, PRILAKU, STEREOTIP, DAN PRASANGKA
Untuk menciptakan stabilitas struktur dan makna bagi lingkungan di sekitar dari pengaruh luar, diperlukan adanya persepsi. Namu untuk mendapatkan persepsi yang sama tidaklah mudah. Perbedaan ini adalah karena perbedaan biologis. Dan perbedaan seseorang akan semakin besar perbedaan biologis individu semakin besar jurang perbedaan persepsi. Sebaliknya semakin sama letar belakang biologis atau pandangan maka kemungkinan persamaan persepsi semakin besar.
Apabila persamaan persepsi semakin besar maka semakin mudah terjadi komunikasi diantara mereka. Dengan adanya persamaan persepsi ditambah dengan lancarnya komunikasi maka semakin besar terbentuknya identitas kelompok. Dan ini menimbulkan kebudayaan tersendiri yang kemungkinan terjadi perubahan secara terus-menerus.
Untuk mengenal dan memberi nama benda dan berbagai peristiwa di sekitar kita agar cocok dengan struktur dan makna yang ada pada kelompok individu dan pengembangannya dipergunakan stereotip dan prasangka. Stereotip dan prasangka adalah dua hal yang mempunyai hubungan erat dan saling mempengaruhi dengan komunikasi antar budaya. Perbedaan antara stereotip dan prasangka adalah stereotip adalah merupakan keyakinan, sedangkan prasangka adalah merupakan sikap.[9]
Di antara stereotip, prasangka dan prilaku terbuka terdapat sebuah hubungan searah, stereotip akan menimbulkan sebuah prasangka dan prasangka ini selanjutnya merupakan dasar atau pendorong terjadinya prilaku terbuka. Ketiga hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
STEREOTIP → PRASANGKA → PRILAKU TERBUKA
BAB VII
KESIMPULAN
- Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya
- terdapat tiga dimensi yang perlu diperhatikan yaitu :
- tingkat masyarakat kelompok budaya dari para pelaku komunikasi
konteks social tempat terjadinya komunikasi antar budaya
- konteks social komunikasi antar budaya meliputi bisnis, organisasi, pendidikan, akulturasi pendidikan, politik, penyesuaian pelancong atau pendatang sementara, perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi-inofasi, konsultasi terapis.
- saluran komunikasi yang digunakan
- secara garis besar saluran terbagi menjadi 2 yaitu
antar pribadi/perorangan dan media massa.
- komunikasi antar budaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi
- kebudayaan dapat berperan sebagai penyaring. jika masyarakat mengalami kejenuhan informasi, sehingga menimbulkan ketergantungan.akibat semakin banyak informasi yang masuk ke lingkungan
- Di antara stereotip, prasangka dan prilaku terbuka terdapat sebuah hubungan searah
STEREOTIP → PRASANGKA → PRILAKU TERBUKA
Daftar Pustaka
Baran, Stanley I. 1999. introduction to mass communication : media literacy and culture
Craig, Robert T. 1993. why are there so many communication theories? Dalam Journal of communication 43 (3),
Fiske, Jhohn.2006.Cultural and Communication Studies.Bandung: Jalasutra
Rachmat, Jalaluddin. 1998. Komunikasi Antar Budaya. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya
Sendjaja, S Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka
http://www.google.co.id/ teori+komunikasi+antar+budaya
[1] Sasa Djuarsa S, Teori Komunikasi, universitas terbuka, depdikbud, Jakarta , 1994 hlmn. 277
[2] http://www.google.co.id/ teori+komunikasi+antar+budaya
[3] A kuhn, the study of society : a unified approach chompwood III: Dorsey, 1963.
[4] Sasa Djuarsa S, Teori Komunikasi, universitas terbuka, depdikbud, Jakarta , 1994 hlmn. 299
[5] fiske
[6] Robert T. Craig, 1993. why are there so many communication theories? Dalam Journal of communication 43 (3), hlmn. 26-33
[8] Sasa Djuarsa S, Teori Komunikasi, universitas terbuka, depdikbud, Jakarta , 1994 hlmn. 305-306
[9] Sasa Djuarsa S, Teori Komunikasi, universitas terbuka, depdikbud, Jakarta , 1994 hlmn. 319
Tidak ada komentar:
Posting Komentar